Pertandingan UEFA Super Cup dini hari tadi menampilkan juara Liga Champions dan juara Liga Eropa yang keduanya berasal dari Inggris, Liverpool versus Chelsea. The Blues yang di hari Minggu menelan kekalahan telak 4-0 dari Manchester United, secara mengejutkan mampu bermain baik dan menahan imbang juara Champions League 2019 hingga pertandingan harus dilanjutkan ke adu penalti.
High Pressing Liverpool
Liverpool memegang penguasaan bola yang lebih tinggi hingga menit ke-30. High pressing Liverpool cukup membuat kesulitan Chelsea dalam melakukan build up.


Liverpool melakukan marking ke pemain Chelsea, opsi untuk melakukan progresi ke depan hanya ke Emerson atau Azpi yang kosong. Respon yang dilakukan Chelsea adalah menarik pemain tengah Liverpool lebih tinggi agar jarak dengan bek renggang. Saat renggang inilah, Kepa akan direct ke Giroud dengan umpan lambung untuk bypass pressing Liverpool. Karena jarak renggang, kesempatan utk memenangkan 2nd ball pun lebih besar. Namun Giroud juga mendapatkan lawan yang tangguh dalam duel, Van Dijk.
Mirroring Formation
Hal pertama yang dilakukan Lampard dalam mengimbangi permainan Liverpool yaitu dengan melakukan mirroring formation. Di pertandingan lawan Manchester United dan pramusim, Lampard cenderung menggunakan 4-2-3-1 namun beberapa kali juga memakai 4-3-3. Formasi yang terakhir ini yang juga digunakan oleh Liverpool under Jurgen Klopp. Menggunakan 4-3-3 dengan trio Kovacic-Jorginho-Kante di tengah membuat Chelsea lebih stabil di tengah. Dalam menyerang, jarak ketiga pemain ini cukup dekat. Kombinasi umpan pendek pun sering dilakukan. Dalam bertahan, jarak antar lini belakang dan tengah yang di pertandingan sebelumnya terlalu jauh, dapat diminimalisir. Lini bertahan yang sering terekspos juga sering terlindungi karena ada 3 CM di depan bek. Dengan sedikit perubahan taktik terutama mekanisme saat bertahan, Chelsea mampu membendung serangan Liverpool.
Mekanisme Bertahan Chelsea
Dalam bertahan Chelsea menurunkan pressing blok pemain depan menjadi blok medium 4-4-2. Pun begitu, blok pertahanan (blok terakhir) tidak bermain rendah. Taktik ini bertujuan untuk memperkecil area bermain Liverpool saat melakukan build up. Bermain dengan blok medium, membuat anak asuh Lampard bertahan dengan compactness vertikal yang terjaga.

Fitur taktikal dari 4-4-2 ini adalah sisi sayap Chelsea. Jika bola berada di sayap kiri, Pulisic akan melakukan tindakan defensive baik itu trackback, marking, screening, atau pressing untuk menutup bola di sayap terutama oleh Gomez. Dengan taktik ini juga, Chelsea berhasil meredam overloading taktik Liverpool di sayap.

Saat Gomez naik, Pulisic akan melakukan trackback. Dengan intruksi ini Chelsea mendapatkan 1 tambahan pemain di sayap menyebabkan Liverpool tidak bisa melakukan overload meski Salah dan Henderson bergerak ke flank.
Hal ini tidak akan terjadi jika Chelsea tetap menggunakan 4-4-2 atau Pulisic tidak melakukan trackback ke RB Liverpool. Perubahan ke 4-5-1 saat serangan Liverpool ke sayap ini cukup membendung taktik overload Klopp di flank. Terlebih Klopp tidak menginstruksikan FB-nya untuk sering naik. Klopp lebih banyak menggunakan Henderson atau Milner untuk menyerang halfspace (celah antara CB & FB). Hal yang sama jika menyerang dari sisi kiri, Pedro akan melakukan trackback ke Robbo.


Overload Flank
Hal yang berbeda dalam mekanisme bertahan Liverpool. Salah tidak banyak melakukan trackback dan Chelsea memanfaatkan ini dengan melakukan overload di flank.

Overloading dan triangle pass, dengan mudah Pulisic lepas karena superioritas jumlah. Mekanisme bertahan Liverpool yang menggunakan Fabinho untuk merespon overloading membuat lambat untuk antisipasinya karena jarak Fabinho ke flank cukup jauh.

Intruksi untuk Melakukan Dribble
Sejak menit ke-29, kendali permainan berpindah ke Chelsea. Build up direct sering dimenangkan di tengah membuat Liverpool menurunkan garis pertahanannya. Pemain-pemain Chelsea juga berani melakukan dribble untuk memecah pressing Liverpool. Gol yang terjadi di menit ke-36 pun berawal dari aksi Kante lepas dari pressing dengan dribble yang dilanjutkan oleh Pulisic dan diselesaikan oleh Giroud. Bahkan nampak jumlah pemain 2 berbanding 6 permain bertahan Liverpool. Statistik menunjukkan Chelsea mencatatkan 31 percobaan dribble berbanding 10 oleh Liverpool. 15 dribble sukses dilakukan dan paling banyak dilakukan oleh Kante (8).
Menyerang Ruang di Belakang Bek
Bermain dengan garis tinggi membuat ruang di belakang bek sangat luas untuk dieskploitasi. Kecepatan Pulisic dan Pedro kerap merepotkan pertahanan Liverpool. Bahkan Pulisic sempat mencetak gol dengan skenario ini yang dianulir karena offside.

Respon Klopp
Respon pertama Klopp adalah memasukkan Firmino di awal babak kedua. Firmino langsung ikut andil dalam prosesi gol Mane. Firmino kerap turun untuk membuka akses umpan. Selain itu, Klopp menginstruksikan ke kedua FB untuk naik. Mekanismenya adalah Wijnaldum (sebelumnya Milner) akan turun sementara Robbo naik. Hal ini untuk melakukan cover ketika bertahan. Berlaku juga di sisi kanan jika arah serangan ke kanan.

Meski skor tetap 1-1 hingga tambahan waktu, Liverpool tidak menurunkan pressingnya. Berkat model pressing tersebut juga gol kedua tercipta. Berawal dari build up yang gagal di kiri. Liverpool dengan cepat menyerang saat Chelsea masih transisi. Mane dengan cerdik bergerak ke ruang di depan bek yang tidak dicover pemain Chelsea.

Kesimpulan
Lampard memberikan asa ke pendukung Chelsea berkat permainannya di pertandingan ini. Dengan taktik yang berbeda di 2 perbandingan, Lampard menunjukkan bahwa karirnya yang singkat tidak menghalanginya untuk menciptakan perubahan-perubahan positif di tim. Terutama dengan memberikan banyak jam terbang untuk pemain muda. Sementara Liverpool tetap digdaya dengan pressingnya. Bermain dengan agresifitas yang tidak tinggi pun Liverpool sebetulnya masih dalam kontrol pertandingan. Seperti gol kedua, pressing yang dilakukan cenderung hanya ‘pressing positional’ namun dapat dikapitalisasi dengan serangan yang cepat.